Monday, June 23, 2014

Nippon tidak layak campur tangan dalam urusan laut China selatan

Komite Urusan Luar Dewan Perwakilan Jepang kemarin menyetujui resolusi yang mengecam China mengenai isu Laut China Selatan. Resolusi ini mendistorsi fakta dan pengetahuan umum, mengecam operasi normal Cina di Kepulauan Xisha menegangkan situasi Laut China Selatan. Sebelum ini, banyak pejabat senior Jepang, termasuk Perdana Menteri Shinzo Abe dan Kepala Sekretaris Kabinet Suga Yoshihide turut mengeluarkan laporan. Mengacu pernyataan tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri China menunjukkan bahwa pemimpin Jepang memiliki tujuan yang tersembunyi.

Seperti diketahui, Jepang tidak terlibat secara langsung dalam isu Laut China Selatan terkecuali untuk masalah laut China timur yang berbatasan langsung dengan wilayah Jepang. Dari perspektif sejarah, Jepang sama sekali tidak memenuhi syarat untuk campur tangan dalam urusan di Laut China Selatan. Lagi pula negara itu pernah menduduki Kepulauan Xisha dalam Perang Dunia II. Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, berdasarkan serangkaian dokumen internasional termasuk "Pengumuman Potsdam", kedaulatan China di Kepulauan Xisha dipulihkan, dan Jepang tidak membantah keputusan ini.

Sikap pemerintah Shinzo Abe dalam isu Laut China selatan sama sekali bukan hanya melanggar disiplin internasional pasca Perang Dunia II, bahkan telah mengabaikan penghormatan terhadap sejarah dan rasa malu terhadap invasi. Jika Jepang masih ada sedikit rasa malu, negara itu harus mendukung pendirian China terkait Kepulauan Xisha, karena "harta yang dicuri" harus dikembalikan kepada tuannya.

Antropolog AS, Benediktus dalam buku klasiknya "Bunga Krisan dan Pedang" yang memperkenalkan masyarakat Jepang, telah merumuskan budaya Jepang sebagai "budaya malu". Sayang sekali, pemerintah Abe sudah lupa apa yang dikatakan "malu" dalam isu Laut China Selatan, hamba seks dan berbagai masalah sejarah lainnya. China menerapkan bahan sejarah tentang pembunuhan massal Nanjing dan hamba seks dalam Perang Dunia II diakui sebagai "Warisan Kenangan Dunia" baru-baru ini. Tidak disangka, Kepala Sekretaris Kabinet Suga Yoshihide kemarin mengeluarkan protes dan menuntut China menarik aplikasi tersebut.

Pembunuhan besar-besaran tentara Jepang di Nanjing

Mengenang kembali sejarah Jepang, yang telah memicu perang dengan China dan Rusia pada 100 tahun yang lalu, Jepang juga menyerang daratan China dan menyerang Pelabuhan Pearl harbour AS. Hingga sekarang, Jepang tidak menimba pengalaman dari sejarah, sebaliknya berusaha "mengembalikan Jepang untuk kembali menjadi agresor", menjadikan Jepang sebuah negara "normal". Intervensi Jepang di Laut China Selatan serta dukungan terhadap beberapa negara dalam isu tersebut telah memperlihatkan niat jahatnya untuk memicu pergolakan di dunia.

0 komentar:

Post a Comment

Terima Kasih atas Komentar anda.
Thanks for your Comments.