Tuesday, May 27, 2014

Ahli Australia Kritik Vietnam atas China Tidak Masuk Akal

Mantan Laksamana Pertama Angkatan Laut Kekaisaran Australia Sam Bateman yang saat ini menjabat Penasehat Senior Keamanan Maritim di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) di bawah Nanyang Technological University (NTU) Singapura belum lama ini memuat komentar di majalah digital milik RSIS. Komentar tersebut kemudian dikutip oleh surat kabar Lianhe Zaobao pada 15 Mei lalu. Komentar yang berjudul 'Siapakah Pemilik Kedaulatan Kepulauan Xisha di Laut China Selatan?' ini mengkritik Vietnam tidak masuk akal dalam bentrokan melawan China terkait sumur minyak di Kepulauan Xisha, Laut China Selatan beberapa waktu lalu.

Sam Bateman mengatakan, China mengoperasikan sebuah landasan kilang minyak ke perairan Kepulauan Xisha yang kontroversial pada 2 Mei lalu. Hubungan tegang antara China dan Vietnam kembali memanas sejak itu. Vietnam menyatakan protes kepada China dan mengerahkan kapal-kapal untuk mengganggu operasi anjungan minyak tersebut. Sementara, pihak China mengirimkan lebih banyak kapal ke perairan untuk melindungi landasan kilang minyak tersebut. Seiring dengan bertambahnya jumlah kapal yang dikerahkan ke lokasi kejadian, bentrokan antara kedua pihak tidak terhindarkan. Sebagian personel Vietnam cedera dan kapalnya juga mengalami kerusakan. Selanjutnya Vietnam melancarkan serangan diplomatik dan media untuk membela pendiriannya. Akan tetapi, jika diteliti lebih lanjut, China memang memiliki hak untuk mengebor sumur minyak di perairan tersebut.

Sam Bateman dalam komentarnya menambahkan, landasan kilang minyak China tersebut berjarak 120 mil laut dari pantai timur Vietnam, dan 180 mil laut dari Pulau Hainan China. Bukan hanya itu, landasan minyak tersebut hanya berjarak 15 mil laut dari Pulau Zhongjian, salah satu bagian Kepulauan Xisha yang diklaim oleh China sejak lama. Landasan minyak itu berjarak 80 mil laut dari Pulau Yongxing di perairan Xisha yang merupakan wilayah China.

Menurut Hukum Kelautan PBB (UNCLOS), China memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Yongxing yang luasnya 500 hektar. Oleh sebab itu, maka China dapat langsung memiliki Zona Ekonomi Eksklusif dan landasan benuanya. Landasan kilang minyak tersebut justru berada di Zona Ekonomi Eksklusif China di perairan terkait.

Saat ini, masalah yang mengganggu berbagai pihak ialah negara mana sebenarnya yang memiliki kedaulatan atas Kepulauan Xisha. Vietnam mengakui China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Xisha pada tahun 1958. Vietnam tidak pernah mengajukan protes apa pun terkait aktivitas China di kepulauan tersebut antara tahun 1958 hingga 1975. Fakta ini dengan nyata telah melemahkan pendirian yang dipegang Vietnam saat ini. Pemerintah dari beberapa negara termasuk Amerika Serikat (AS) secara langsung maupun tidak, telah mengakui kedaulatan China atas sebagian atau seluruh Kepulauan Xisha di Laut China Selatan. China menguasai Pulau Yongxing pasca Perang Dunia II. Jika pulau yang merupakan pulau terbesar di Kepulauan Xisha tersebut diduduki AS dalam Perang Vietnam, maka keadaan itu akan sangat membantu AS dalam aksi militernya terhadap Vietnam Utara waktu itu.

AS meminta semua negara yang mengklaim kedaulatan di Laut China Selatan bersikap hati-hati dan menahan diri. Dalam sejarah, AS mengakui kedaulatan China terhadap Pulau Yongxing. Oleh karenanya pernyataan yang dikeluarkan AS saat ini untuk mendukung pendirian Vietnam dalam bentrokan tersebut justru menunjukkan inkonsistensi pendirian AS.

0 komentar:

Post a Comment

Terima Kasih atas Komentar anda.
Thanks for your Comments.