Thursday, March 25, 2010

60 Tahun Tiongkok-RI: Saling Belajar, Saling Membangun

Enam puluh tahun sudah hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Indonesia, namun berbagai pasang surut mewarnai. Banyak masalah yang muncul dalam hubungan dua negara besar Asia Timur ini, namun juga banyak prospek yang dapat diraih di masa mendatang. Hal ini dibahas dalam seminar Memperingati 60 Tahun Hubungan Tiongkok-RI yang diselenggarakan bersama oleh lembaga non-pemerintah CSIS (Pusat Kajian Strategi dan Internasional) dari Indonesia dan China's People Institute of Foreign Affairs dari Tiongkok, kemarin (22/3) di Hotel Beijing International.

Saudara pendengar, Mantan Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok untuk Indonesia Chen Shiqiu dalam sambutannya menyatakan,

"Dua puluh hari lagi, kita akan memperingati dimulainya hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Indonesia. 13 April 1950 adalah hari yang istimewa. Indonesia adalah negara non-sosialis kedua yang memberikan pengakuan terhadap pemerintah Republik Rakyat Tiongkok."

Duta Besar Chen menambahkan, hubungan kedua negara bertambah mesra setelah Indonesia menyelenggarakan KAA di Bandung, yang hasil deklarasinya membawa semangat dan inspirasi bagi negeri-negeri terjajah di Asia dan Afrika.

Namun, pada akhir 60'an, hubungan itu mengalami kemunduran. Baru pada 8 Agustus 1990 kedua pihak melakukan normalisasi hubungan, sehingga kerja sama antara Tiongkok dan Indonesia mengalami peningkatan sejak saat itu.

Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid menjadikan Tiongkok sebagai negara pertama yang dikunjungi begitu beliau menduduki kursi kepresidenan. Dari pihak Tiongkok, presiden Hu Jintao juga melakukan kunjungan ke Indonesia tahun 2005 dan menandatangani kesepakatan kemitraan strategis.

"Masa depan yang cerah," Duta Besar Chen menegaskan, "kunjungan tingkat tinggi kedua negara memperdalam pengertian, mengurangi kesalahpahaman dan kecurigaan, memajukan persahabatan." Kini kedua negara sedang memfokuskan diri untuk meningkatkan volume perdagangan dari 30 miliar dolar AS menjadi 50 miliar dolar.

Senada dengan hal itu, Wakil Ketua Dewan Pengawas sekaligus salah satu pendiri CSIS, Jusuf Wanandi, dalam sambutannya menyatakan:

"Dalam kunjungan kenegaraan Presiden Tiongkok Hu Jintao ke Indonesia tahun 2005, bersama dengan Presiden Yudhoyono, menandatangani deklarasi kemitraan strategis, di mana kedua negara sepakat untuk mengembangkan kerjasama strategis jangka panjang berlandaskan pada kepentingan dan aspirasi bersama, juga saling menghormati perbedaan."

Menurut Jusuf, deklarasi kemitraan ini adalah salah satu titik penting dalam hubungan kedua negara. Indonesia selalu mendukung Kebijakan Satu Tiongkok, dan Tiongkok juga menghormati kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia.

Namun tidak dapat dipungkiri, hubungan kedua negara juga sempat mengalami gejolak dan menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh sejarah masa lalu, kesalahpahaman, dan kurangnya informasi. Rizal Sukma, Direktur Eksekutif CSIS, menyatakan bahwa masalah memori masa lalu dan kekosongan yang terjadi akibat pemutusan hubungan diplomatik pada era '60an adalah faktor penghambat bertumbuhnya hubungan kedua negara. Banyak orang Tiongkok yang masih menganggap bahwa Indonesia adalah negara yang anti Tionghoa, sehingga sekarang adalah kewajiban kedua negara untuk meluruskan persepsi ini.

Dalam perkembangan dewasa ini, permasalahan persepsi masyarakat yang mencuat adalah tentang pemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Tiongkok, CAFTA. Untuk itu dibutuhkan kerja sama yang lebih mendalam untuk meningkatkan dialog dan komunikasi, bukan hanya antar pemerintah, namun juga hubungan antar rakyat kedua negara.

Sementara itu, menilik hubungan dan peran kedua negara di masa depan, Hadi Soesastro dari CSIS mengajak kita menilik kembali potensi kepemimpinan Asia Timur di kancah dunia.

"Posisi Asia Timur di dunia telah meningkat dengan signifikan karena prestasi ekonomi regional sejak 20 tahun terakhir. Kekuatan ekonomi Asia Tengah diproyeksikan melampaui Eropa atau Amerika Utara hanya dalam kurun waktu 20 tahun ke depan. Krisis finansial global yang melanda baru-baru ini nampaknya justru mempercepat proses itu."

Hadi menekankan, Indonesia dan Tiongkok, sebagai sesama kekuatan terbesar di Asia Timur dan sebagai anggota G-20, punya tanggung jawab besar untuk membentuk tata dunia. Indonesia dan Tiongkok sama-sama punya pengaruh sistemik ke seluruh dunia. Demi kemajuan bersama, kedua negara harus menggunakan kerangka yang ada untuk meningkatkan kerja sama dan peran Asia Timur, misalnya melalui ASEAN, ASEAN+3, ASEAN+6, dan APEC.

Saudara pendengar, menurut ekonom dari Standard Chartered, Fauzi Ichsan, kekuatan Asia Timur ini tidak bisa diremehkan. Ketika seluruh dunia menghadapi krisis ekonomi global, Tiongkok, India, dan Indonesia masih mengalami pertumbuhan positif. Konsumsi di tiga negara yang dikenal dengan singkatan Chindonesia itu masih cukup tinggi, mata uang menguat, investasi meningkat, pasar saham bergairah, dan pertumbuhan ekonomi terbilang cukup pesat, sehingga Asia Timur justru menjadi kawasan kunci untuk pemulihan ekonomi dunia.

Fauzi menekankan, pemberlakuan pasar bebas CAFTA bermanfaat positif bagi perekonomian kedua negara. Namun dalam kerangka kerja sama ekonomi antara Tiongkok dengan Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN, timbul polemik dalam pemberlakuan CAFTA ini.

Fauzi mengatakan, sebenarnya polemik ini tidak perlu, karena ekspor Indonesia tidak sedang bersaing dengan ekspor Tiongkok. Indonesia umumnya mengekspor komoditi mentah, sedangkan Tiongkok pada barang produksi.

Mengenai peranan yang dapat dilakukan Tiongkok untuk memajukan kawasan Asia Tenggara pada umumnya, dan Indonesia pada khusunya, Fauzi mengatakan, dengan cadangan devisa yang luar biasa, Tiongkok bisa mengembangkan infrastruktur di negara-negara ASEAN, juga menyediakan pinjaman untuk mengurangi ketergantungan pada ekonomi Amerika Serikat.

Pertumbuhan perdagangan Tiongkok dan Indonesia menjadi perhatian utama Mochtar, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perdagangan. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, volume perdagangan kedua negara bertumbuh dari 12 miliar dolar hingga menjadi 26 miliar dolar Amerika Serikat. Mochtar mengatakan,

"Dalam tiga tahun pertama, neraca perdagangan Indonesia selalu positif, tetapi dalam dua tahun terakhir, Indonesia selalu negatif. Sekarang Tiongkok menjadi mitra dagang terbesar ketiga terbesar Indonesia. Lima tahun lalu Tiongkok bahkan tidak termasuk dalam lima besar mitra Indonesia. Tentu saja, karena impor dari Tiongkok lebih besar daripada ekspor ke Tiongkok, maka ini menjadi perhatian besar dari banyak sektor."

Mochtar menekankan pentingnya mencari solusi untuk membuat neraca perdagangan kedua negara menjadi lebih seimbang.

Dalam wawancara khusus dengan CRI, Hadi Soesastro mengungkapkan, Tiongkok juga harus meningkatkan investasinya dan mulai memikirkan untuk mengolah barang-barang produksinya di Indonesia.

"Indonesia sendiri juga harus lebih aktif mengupayakan supaya itu terjadi. Seperti dikatakan oleh beberapa orang dari pihak China, mereka juga menanyakan Indonesia ini walaupun dianggap sebagai negara penting, tetapi apakah Indonesia ini cukup aman untuk investasi, apakah aturan-aturannya itu cukup stabil. Itu perlu ada upaya yang lebih besar dari pihak Indonesianya."

Hadi menambahkan, justru Indonesia lebih diuntungkan dalam CAFTA, karena titik tolak perjanjian adalah waktu diputuskan, tarif masuk barang masuk Indonesia sudah sangat rendah, sementara tarif barang masuk ke Tiongkok jauh lebih tinggi.

Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Indonesia, Imron Cotan memproyeksikan volume perdagangan Indonesia dan Tiongkok akan mencapai 50 miliar dolar pada tahun 2015. Menanggapi hal ini, Sofjan Wanandi, ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan,

"Saya tetap optimis selama kita mengerjakan itu secara benar, dan juga harus betul bisa win-win, menguntungkan dua belah pihak. Jadi kita mengharapkan China jangan hanya membeli yang namanya bahan-bahan mentah dari Indonesia. Dia perlu membeli barang-barang jadi, perlu berinvestasi di Indonesia untuk membuat barang jadi di Indonesia, sudah itu dia beli barang jadi itu."

Berbagai potensi dan masalah dibahas dalam seminar memperingati enam puluh tahun hubungan diplomatik Tiongkok dan Indonesia ini. Setelah melalui pasang surut dan naik-turun, kedua negara sudah semakin dewasa dalam membina hubungan ini. Semua pihak yang terlibat dalam seminar ini setuju bahwa komunikasi yang lebih mendalam dibutuhkan untuk memajukan kerjasama, meningkatkan pengertian, dan mengurangi kesalahan persepsi yang bakal menghambat hubungan kedua negara.

0 komentar:

Post a Comment

Terima Kasih atas Komentar anda.
Thanks for your Comments.