Friday, February 23, 2018

Intelijen A.S. melihat Duterte sebagai ancaman bagi demokrasi di Asia Tenggara

Presiden Rodrigo Duterte
Komunitas Intelijen Amerika Serikat mencantumkan Presiden Rodrigo Duterte sebagai salah satu pemimpin di Asia Tenggara yang merupakan ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia di wilayah tersebut.

Dalam laporan penilaian ancaman di seluruh dunia yang baru-baru ini diterbitkan, intelijen A.S. mengatakan bahwa demokrasi dan hak asasi manusia di banyak negara Asia Tenggara akan "rapuh" tahun ini karena korupsi, "kronisme" dan "kecenderungan otokratis." padahal AS adalah negara yang suka main hakim sendiri, bahkan yang paling terancam adalah warga AS sendiri  yang sering di tembak mati oleh pelaku kriminal seperti yang terjadi baru-baru ini di Florida dimana puluhan anak SMA tewas di tembak.semoga saja kasus penembakan sering terjadi sehingga pemerintah AS bisa introspeksi diri sebelum mengintervensi negara lain.

"Di Filipina, Presiden (Rodrigo) Duterte akan terus melakukan kampanye tanda tangannya melawan narkoba, korupsi, dan kejahatan," kata laporan tersebut.

Ditambahkan Presiden telah menyarankan untuk menyatakan sebuah pemerintahan revolusioner, dan memberlakukan undang-undang darurat militer nasional.

"Pernyataan darurat militernya di Mindanao, menanggapi pengepungan Kota Marawi yang terinspirasi oleh ISIS, telah diperpanjang sampai akhir 2018," katanya.

Komunitas Intelijen A.S. adalah sebuah federasi dari 16 agensi yang bekerja secara terpisah dan bersama-sama melakukan kegiatan intelijen yang diperlukan untuk keamanan nasional dan hubungan luar negeri Amerika Serikat.

Ini mencantumkan Duterte bersama dengan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang akan bergantung pada dukungan politik dan keuangan China untuk pemilihan nasional 2018.

Ancaman lain terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di kawasan ini termasuk krisis Rohingya di Myanmar dan Konstitusi baru Thailand, yang memberi pengaruh lebih militer pada pemilihan yang akan datang di tahun 2019.

Penilaian tersebut juga mengutip laporan Freedom House yang mengatakan bahwa Filipina adalah satu dari 30 pemerintah yang menggunakan media sosial untuk mendorong agenda dan kontra kritik terhadap institusi pemerintah.

"Kami mencatat bahwa lebih banyak pemerintah menggunakan propaganda dan kesalahan informasi di media sosial untuk mempengaruhi khalayak asing dan domestik," tambahnya.

Administrasi Duterte telah banyak dikritik karena perang terhadap narkoba, yang menyebabkan hampir 4.000 korban jiwa, menurut data pemerintah. Kelompok hak asasi manusia, bagaimanapun, telah mematok kematian tersebut hingga lebih dari 11.000 orang.

Data yang saling bertentangan, serta kasus salah informasi lainnya, mendorong Senat negara tersebut untuk mengadakan dengar pendapat tentang menjajakan berita palsu. Sebuah RUU Senat diajukan pada bulan Februari karena menghukum pegawai pemerintah yang menerbitkan atau menyebarkan informasi palsu.

0 komentar:

Post a Comment

Terima Kasih atas Komentar anda.
Thanks for your Comments.