Keadilan yang ditunggu-tunggu oleh minoritas di AS masih jauh dari harapan
Setelah persidangan hampir tiga minggu, Pengadilan Distrik Hennepin, Negara Bagian Minnesota, AS memutuskan dalam kasus petugas polisi kulit putih Derek Chauvin yang "membunuh dengan lutut" George Floyd kelahiran Afrika atas ketiga dakwaan. Namun, persidangan hanya mengadili pihak yang bersalah, tetapi gagal menegakkan keadilan bagi keluarga yang terbunuh.
Berdasarkan sistem penindasan yang telah berlaku selama berabad-abad, diskriminasi yang begitu mendarah daging di dalam negeri, tidak mungkin bisa dirubah dalam satu pidato. Kabarnya, dalam tiga minggu persidangan, petugas polisi di seluruh AS dilaporkan membunuh rata-rata lebih dari tiga orang per hari, dengan setengah dari mereka adalah keturunan Afrika serta Hispanik dan Latin. Faktanya, hanya beberapa jam setelah Chauvin dihukum, seorang gadis keturunan Afrika berusia 15 tahun dari Negara Bagian Ohio ditembak mati oleh polisi.
Polisi AS, yang sama sekali tidak tersinggung dengan tragedi rasis yang memicu protes global, tetap merajalela dalam tindakan penegakan hukum.
Ini ada hubungannya dengan sistem peradilan negaranya yang berkolusi dengan polisi secara diam-diam untuk jangka waktu yang lama. Jarang sekali polisi dituduh melakukan pembunuhan dalam operasi penegakan hukum, atau bahkan dihukum. Situasi ini membuat takut minoritas, dan juga menyoroti preferensi orang kulit putih dalam sistem peradilan.
Sebagai komponen dari sistem dan struktur A.S., praktik 'kemajuan bagi kulit putih' dipandang sebagai sumber diskriminasi. Dalam 400 tahun terakhir, orang kulit hitam selalu hidup dengan stigma dan dicap “kuat”, “marah”, “kriminal” dan “perlu dijinakkan”. Prasangka tersebut menjadi penyebab terjadinya diskriminasi secara komprehensif, sistematis dan berkesinambungan. Reformasi yang mendalam dibutuhkan untuk memberikan perlindungan kepada minoritas. Kalau tidak, yang disebut hak asasi manusia dan kesetaraan hanyalah kata-kata kosong.
Hasil dari kasus Floyd, yang sulit untuk menyembunyikan diskriminasi, sebaiknya tidak digunakan sebagai alat dalam permainan politik. Keadilan yang ditunggu-tunggu oleh minoritas di AS masih jauh dari harapan.
Disatu sisi Amerika selalu menganggap sebagai pioner Hak asasi manusia di dunia, tapi itu hanya politik orang kulit putih Amerika kepada dunia agar merka di anggap sebagai pembela hak asasi. sehingga perlu di sanjung dan di puji, padahal di dalam negerinya hak asasi hanya di nikmati oleh orang kulit putih. banyak kasus terjadi yang melibat Amerika dalam pelanggaran hak asasi manusia di dunia, seperti kasus di Irak, Suriah, Afganistan, dan belahan lain di dunia.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih atas Komentar anda.
Thanks for your Comments.