Pada zaman dahulu kala, ada seorang tua yang dikenal sebagai Pak Pandir. Usianya sudah hampir 90 tahun. Rumahnya berhadapan dengan dua buah gunung yang besar, yaitu Gunung Thaihang dan Gunung Wangwu. Kedua buah gunung tersebut menjadi penghalang perjalanan Pak Pandir sekeluarga.
Pada suatu hari, Pak Pandir mengumpulkan anggota keluarganya dan berkata, "Bagaimana, kalau kita sekeluarga berusaha bersama-sama meratakan kedua buah gunung itu?"
Ketika mendengar usulan Pak Pandir itu, anak dan cucu-cicitnya mengatakan, "Usulan itu bagus. Marilah kita mulai meratakan kedua gunung itu padaesok hari." Akan tetapi, istri Pak Pandir merasa tugas itu terlalu sulit untuk dilaksanakan dan mengemukakan pendapat yang bertentangan, "Kita sudah tinggal di sini begitu lama, mengapa kita tidak bisa terus hidup begini saja? Selanjutnya, kedua gunung itu begitu besar. Jika ia dapat diratakan, tempat mana yang bisa menampung begitu banyak batu dan lumpur? "
Pandangan istri Pak Pandir ini menimbulkan reaksi dan diskusi dalam kalangan anak cucunya. Masalah itu memang sulit diselesaikan. Akhirnya, mereka dengan suara bulat memutuskan untuk mengangkut batu dan lumpur tersebut ke laut. "
Pada keesokan harinya, Pak Pandir pun memimpin anggota keluarganya untuk mulai meratakan kedua gunung tersebut. Ada seorang tetangganya, janda yang memiliki seorang anak laki-laki yang berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Ketika mendengar berita bahwa keluarga Pak Pandir akan meratakan gunung, dia pun datang mengulurkan bantuan. Akan tetapi, peralatan mereka hanyalah cangkul dan keranjang, sedangkan kedua gunung tersebut jarak yang agak jauh dari laut. Setiap hari, setiap orang hanya mampu berulang sekali saja dari gunung ke laut. Jadi, meskipun setelah berusaha selama sebulan, gunung itu tampaknya sama saja dibandingkan masa sebelumnya.
Pada suatu hari, ada seorang tua yang digelar Pak Pintar. Melihat keluarga Pak Pandir yang sedang meratakan gunung, dia merasa geli. Dia pun mengatakan kepada Pak Pandir, "Usia awak sudah lanjut, dan awak pun susah berjalan, bagaimana kau hendak meratakan kedua gunung yang begitu besar?"
Pak Pandir menjawab, "Nama awak Pintar, akan tetapi kau tidak lebih pijak dari budak-budak. Bila saya mati, anak-anak saya akan melanjutkan pekerjaan saya ini, bila mereka pula mati, cucu-cicit saya akan meneruskannya, dan kerja akan diteruskan oleh anak-anak mereka sampai ke cucu-cicit mereka turun-temurun. Batu dan lumpur di gunung tersebut semakin berkurang, karena kami meratakannya setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun. Mengapa kami tidak dapat meratakan gunung tersebut? " Pak Pintar itu tidak bisa menjawab lagi.
Pak Pandir dan keluarganya terus meratakan kedua buah gunung tersebut dengan tidak menghiraukan kondisi cuaca, panas atau dingin. Mereka bekerja dari siang sampai ke malam setiap hari. Akhirnya, menurut ceritanya, Dewa terharu melihat kegigihan mereka, lalu mengirim dua peri untukt memindahkan kedua gunung tersebut.
Pengajaran:
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita agar jangan menyerah ketika menghadapi kesulitan.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih atas Komentar anda.
Thanks for your Comments.