Saat Timur Tengah dilanda kekacauan dan pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan, ketakutan China terhadap
luan (kekacauan) muncul kembali. Hal ini disampaikan para analis. Di internet ada bisik-bisik tentang sebuah "revolusi melati". Meskipun seruan terhadap protes jalanan gagal mendapat dukungan sejauh ini, China bagaimanapun tampak gelisah.
Gejolak di Timur Tengah tidak banyak mendapatkan tempat di liputan media Pemerintah China. Beberapa hari ini ada lebih banyak polisi di jalanan di negeri itu. Para pembangkang dilaporkan berada dalam tahanan rumah dan situs jejaring sosial secara selektif diblokir.
Mengapa? Apa yang membuat China takut?
Jaime FlorCruz, mantan koresponden dan kepala biro majalah Time di Beijing dalam kolomnya di CNN, Sabtu (5/3/2011), menulis, China memiliki sejarah membentengi diri dari dunia luar, takut terhadap invasi dan dominasi asing, dari bangsa Mongol ke Perang Candu melawan Inggris hingga imperialisme brutal Jepang pada abad ke-20. Menurut FlorCruz, meski orang-orang China tertarik dengan hal-hal asing, secara historis ada ketakutan di kalangan penguasanya tentang pengaruh budaya Barat.
Di dalam Tembok Besarnya, China telah menerapkan kontrol yang ketat terhadap rakyatnya. Dari era para panglima perang feodal ke China modern, penguasanya terobsesi untuk menghindari pemberontakan petani yang berasal dari bawah. "Pertanyaan abadi di benak semua orang Tionghoa adalah bagaimana cara terbaik menghindari kekacauan?" demikian FlorCruz mengutip Erik Ringmar yang menulis buku Mekanisme Modernisasi di Eropa dan Asia Timur. "Pemikiran politik seperti itu telah berkembang dari awal, termasuk dalam Taoisme, Legalisme, dan Konfusianisme, serta terus berupaya untuk menjawab pertanyaan tersebut."
FlorCruz yang telah tinggal dan bekerja di China sejak tahun 1971 serta belajar sejarah China di Peking University (1977-1981) melanjutkan, dua ketakutan tersebut, dominasi asing dan revolusi dari dalam, telah diwariskan para pemimpin China secara berturut-turut, terutama setelah Ketua Mao Zedong. Selama dua dekade hingga kematiannya pada tahun 1997, Deng Xiaoping terdorong untuk memodernisasi China dengan cepat sambil menjaga stabilitas. Ia memerintahkan penumpasan brutal terhadap para demonstran di Tiananmen Square pada tahun 1989, sementara terus mendorong reformasi yang membuka dan mengubah negaranya.
Presiden Hu Jintao, yang berusaha membangun "masyarakat yang harmonis," bulan lalu menyerukan kepada para pejabat China untuk belajar "manajemen sosial" demi menjaga stabilitas. Joshua Cooper Ramo dalam bukunya, Konsensus Beijing, menulis bahwa "ketakutan terhadap kekacauan, kehilangan kontrol politik dan sosial ... berjalan seperti setrika besi di seluruh tubuh politik China."
Transformasi ekonomi China telah berlangsung luar biasa. Reformasi pasar telah menampilkan inisiatif individu dan kewirausahaan. Ratusan juta petani telah diangkat dari kemiskinan. Kota-kota baru yang berkilauan telah dibangun. Ekonomi China sekarang ini merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Namun, kata FlorCruz, meski ada prestasi-prestasi itu, Partai Komunis masih sensitif terhadap kritik. Para analis mengatakan, kurangnya mandat rakyat lewat pemilihan langsung membuat partai itu tidak yakin terhadap legitimasi dirinya dan takut akan terjadi penggulingan dan disintegrasi.
"Mereka tidak punya pembenaran ideologis untuk berada di kekuasaan," kata David Zweig, profesor ilmu sosial di Hong Kong University of Science and Technology, sebagaimana dikutip FlorCruz. "Institusi-institusi politik mereka—parlemen, pengadilan, dan polisi—tidak independen. Mereka sering dipaksa untuk mengandalkan paksaan dalam mempertahankan kekuasaan."
Problem China, lanjut Zweig, adalah bahwa negara itu mengalami perubahan sosial yang paling cepat dalam sejarah, tetapi dengan sistem hukum yang lemah. "Jadi masalah seperti pencemaran, pengalihan lahan, urbanisasi, semua mengarah pada keluhan bahwa mereka tidak punya media di mana orang dapat menyampaikan keluhan yang kemudian bisa diselesaikan, selain dengan cara protes dan represi dari negara," ujarnya.
Pemerintah tampaknya berusaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Untuk memenuhi tantangan tata kelola pemerintahan, China telah mendukung "pemerintahan berdasarkan hukum", bukan "berdasarkan orang." Untuk mengelola agar persoalan pedesaan lebih baik dan mengatasi kekhawatiran sehari-hari para petani, China bereksperimen dengan pemilihan langsung di desa. Jika berhasil, maka sistem itu memungkinkan banyak keluhan dapat ditangani pada tingkat akar rumput.
Namun, warga masih mengeluh tentang masalah sosial-ekonomi, antara lain inflasi, pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan yang terjangkau. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin tetap menjadi masalah terbesar di negara itu.
Banyak orang lalu membandingkan protes di Lapangan Tahrir di Kairo dengan protes di Lapangan Tiananmen, Beijing, tahun 1989. China saat ini memiliki banyak masalah yang sama dengan Mesir yang antara lain ketimpangan pendapatan dan korupsi. Namun, para pengamat mengatakan bahwa kemungkinan kepemimpinan China menjadi rezim gagal berikutnya masih kecil.
Rakyat China sendiri, menurut FlorCruz, tampaknya tidak memiliki nafsu untuk melakukan revolusi. "Saya pikir kebanyakan orang China merasa bahwa semuanya berjalan cukup baik di China, setidaknya secara ekonomis untuk saat ini," kata Orville Schell, Direktur Asia Society Center pada Hubungan AS-China, sebagaimana dikutip FlorCruz. "Jelas ada beberapa ketidakpuasan. Namun, saya tidak berpikir ada tingkat yang sama yang bisa menjadi penyebab terjadinya pemberontakan rakyat."
Menurut para pengamat, reformasi ekonomi China telah menguntungkan mayoritas penduduk, sementara cengkeraman Partai Komunis di media pemerintah, militer, dan internet semakin ketat dan canggih.
Di Timur Tengah, orang miskin dan yang kehilangan haknya telah bangkit untuk memberontak. Di China, banyak orang seperti telah bangkit dari kemiskinan. Namun, persebaran kekayaan memang tetap menjadi salah satu tantangan terbesar negeri itu.